Showing posts with label Biologi. Show all posts
Showing posts with label Biologi. Show all posts

Visualisasi DNA

 

Sebelum membahas mengenai seluk beluk DNA sebagai molekul pembawa informasi biologi, ada baiknya kita mengenal tampakan visual molekul DNA yang biasanya dipakai untuk mengenalnya di laboratorium.

Bayangkan seandainya DNA berada dalam jumlah yang besar (katakanlah 1-2 mg dalam 1 ml air), ia akan nampak putih berkaca dan pekat.  DNA sebanyak itu biasanya diisolasi dari sekitar 2 - 5 g bahan hidup setelah dipekatkan dengan cara mengambangkannya pada lapisan tertentu dalam tabung pemusing-ultra (ultracentrifuge) menurut masa spesifiknya. DNA dapat divisualisasi karena Ethidium bromida (EtBr) dapat terperangkap (intercalated) di antara pasangan-pasangan basa DNA, yang kalau disinari dengan radiasi ultraungu akan memendarkan cahaya. Hal ini dapat dikerjakan dalam proses pengambangan dengan dalam pemusing ultra atau melalui elektroforesis DNA dengan gel agarosa. Cara tradisional lain yang biasanya dipakai untuk mengenal DNA adalah dengan pembuatan foto autoradiograf dari DNA yang di tandai dengan radioisotop 32P. Namun demikian, berbagai cara yang lebih menarik, seperti penggunaan zat kimia berpendar, atau dihubungkan dengan deteksi antibodi – antigen telah dikembangkan.

Beberapa Sifat Fisika DNA Yang Penting

Dalam perkembangan lanjut, implikasi dari model DNA menurut Watson dan Crick adalah sifat fisika DNA yang mudah membentuk dua rantai tunggal DNA apabila ikatan hidrogen purin-pirimidin "melele".  Melalui pemanasan, misalnya, ikatan ini melele dan kekentalan (viscocity) larutan menurun. Dalam keadaan rantai tunggal, gugus amino dari purin dan pirimidin tersingkap dan siap bereaksi dengan formaldehida membentuk turunan hidroksimetil, yang dalam keadaan rantai ganda DNA gugus ini tidak reaktif.  Akibat lanjut dari terbentuknya rantai tunggal DNA adalah serapan radiasi ultraviolet pada riak-gelombang 260 mm oleh DNA dalam larutan meningkat 40% (DNA memiliki serapan radiasi tertinggi pada riak-gelombang 260 mm).  Dengan pemanasan, serapan radiasi ultraviolet oleh DNA meningkat secara drastis disaat suhu pemanasan melewati titik leleh (melting point).

Titik leleh dari setiap potongan DNA bersifat spesifik. Misalnya, titik leleh untuk DNA dari Diplococcus pneumoniae, E. coli,Serratia marcescens, dan Mycobacterium phlei masing-masing berturut-turut: 86, 90, 94 dan 97 oC.  Naiknya titik leleh ini berhubungan langsung dengan naiknya kadar [G] + [C] pada suatu spesies. Setiap spesies bakteri dan vertebrata memiliki kadar G/C yang berbeda-beda (Tabel 2.1). Marmur (1959) melakukan percobaan denaturasi DNA yang mengandung berbagai kadar AT (termasuk DNA sintetik kaya AT.  Hasilnya menunjukan bahwa suhu titik denaturasi menurun dengan naiknya kadar A/T.  Percobaan transformasi pneumococci resipien dengan DNA yang di panasi dari D. pneumoniaedonor, menyebabkan aktifitas transformasi terhenti disaat pemanasan mencapai suhu 86oC, yaitu suhu dimana denaturasi DNA Pneumococcidi capai. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan bakteri ditransformasi oleh rantai tunggal polinukletida.
Tabel 1.2.


              Hal yang menarik adalah bahwa ternyata dua rantai tunggal DNA yang telah dipanasi dapat berpasangan kembali di dalam larutan. Marmur di tahun 1960 memanaskan larutan DNA pneumococci pada suhu 100oC. Larutannya kemudian didinginkan. Sepanjang pemanasan dan pendinginan, dilakukan uji kemampuan DNA mentrasnformasi bakteri resipien. Pewarisan kemampuan bakteri menerima DNA berlangsung sejalan dengan naiknya suhu pemanasan DNA.  Sewaktu pendinginan, dan suhu mencapai 86oC, transformasi mulai mengalami restorasi dan mencapai maksimumnya pada suhu sekitar 60oC, dan tetap konstan sampai suhu pendinginan mencapai 30oC. Denaturasi dan renaturasi DNA dapat juga diikuti dengan mengukur absorbansi sinar ultraviolet sepanjang naik dan turunnya suhu larutan.
Nampaknya bukanlah suatu keharusan bahwa dua DNA harus benar-benar identik agar mampu berpasang kembali. Dua rantai tunggal DNA yang memiliki tingkat homologi basa nitrogen tertentu dapat berpasangan. Sifat hibrida silang demikian menjadi dasar-dasar penting dalam banyak prosedur aplikasi genetika molekuler seperti analisis hubungan keeratan dua organisme, studi sistematika organisme, pengembangan teknik hibridisasi in situ fluorpendar (FISH), sintesis DNA in vitro dengan reaksi berantrai polimerase (PCR), dan prosedur hibridisasi Southern.
              Terdapat beberapa protein/enzim penting yang berinteraksi dengan DNA dan mempengaruhi sifat-sifat fisik DNA yaitu: (1)Deoksiribonuklease (DNase), (2) Enzim-enzim spesifik penggunting DNA (Restriction enzyme endonucleases), (3) DNA ligase, (4)Topoisomerase, (5) DNA Polimerase, (6) DNA girase, (7) Primase, (8)Helikase, dan (9) DNA binding protein.

Asam Nukleat dan Transformasi pada Pneumococci

 

Bukti bahwa gen terbuat dari DNA ditunjukkan oleh penelitian pada bakteri penyebab penyakit Pneumonia. Bakteri Pneumococcusbiasanya diselaputi kapsul polisakarida yang mengkilat dan berlendir. Kapsul polisakarida tersebut berperan dalam patogenitasnya menimbulkan penyakit Pneumonia pada hewan, termasuk manusia. Mutan yang tidak memiliki kapsul polisakarida tidak patogenik. Bakteri normal disebut bentuk S, karena membentuk koloni yang lembut (smooth) dalam piringan kultur. Sebalik, sang mutan disebut R karena membentuk koloni yang kasar (rough). Bentuknya yang kasar (R) tersebut akibat dari adanya kekurangan enzim yang mensintesis polisakarida kapsuler.

Fred Griffith (1928) mendemonstrasikan bahwa mutan non-patogenik (R) dapat ditransformasi menjadi bentuk patogenik (S).  Ia menyuntik tikus dengan campuran bakteri bentuk R hidup dengan bakteri bentuk S yang telah dibunuh dengan pemanasan.  Hal yang luar biasa terjadi adalah bahwa akibat suntikan tersebut tikusnya mati. Suntikan Pneumococci R hidup atau Pneumococci S mati tidak mengakibatkan kematian tikus. Dengan demikian, Pneumonococci S mati telah mentransformasi Pneumococci R hidup (non patogenik) menjadi Pneumococci S yang patogenik dan mengakibatkan kematian tikus.

Dari percobaan selanjutnya ditemukan bahwa transformasi bakteri R ke S dapat berlangsung secara in vitro. Yaitu bahwa bakteri bentuk R jika ditambahkan ekstrak sel (cell-free extract)Pneumococci yang telah dibunuh, beberapa diantaranya mengalami transformasi menjadi bentuk S.  Hasil penelitian ini kemudian meletakkan dasar-dasar pencarian agen yang mengakibatkan transformasi tersebut.

Tiga peneliti (Avery O, Macleod C, McCarty M) di tahun 1944 melaporkan bahwa asam nukleat bertanggung-jawab mentransformasi Pneumococci R menjadi Pneumococci S.  Mereka membuktikan bahwa substansi yang diisolasi dan mengakibatkan transformasi dari tipe R ke tipe S memiliki ciri-ciri kimia sesuai dengan ciri-ciri DNA. Ditunjukkan bahwa baik sifat optis, endapan pusingan(Centrifugal properties), sifat difusi, dan sifat elektroforetik menunjukan bahwa substansi penyebab transformasi Pneumococci R ke S adalah seperti yang dimiliki DNA. Ekstrak murnian selPneumococci tipe S, setelah protein dan lemak dipisahkan, tidak mengakibatkan hilangnya kemampuan transformasi. Selanjutnya, perlakukan tripsin dan kemotripsin tidak mempengaruhi aktifitas transformasi yang berarti bahwa agen transforman bukanlah protein. Dalam penelitian pengaruh Ribonuclease, yaitu enzim yang diketahui memotong-motong asam ribonukleat (RNA), diperoleh bahwa ia tidak mempengaruhi kemampuan transformasi; (6) Sebaliknya, kemampuan mentransformasi ekstrak yang dimurnikan dari Pneumococci hilang segera setelah perlakuan deoxyribonuclease (yaitu enzim yang berkemampuan mencernak DNA).  Hasil penelitian ini menjungkirbalikan asumsi pada waktu itu yang menghargai protein dan bukan DNA sebagai bahan pembawa informasi genetika.

Gen dan Kromosom

 

Pada saat Mendel mempublikasikan hasil penelitiannya, konsep sel sebagai unit dasar hidup telah berumur kurang-lebih 30 tahun. Namun saat itu, elemen-elemen struktural sel baru dalam proses penelitian intensif sejalan dengan dikembangkannya mikroskop dan sistem pewarna sel. Rekaan pertama hasil studi ini adalah bahwa sel terdiri dari dua domain yang terpisah dengan jelas: bagian inti (nukleus) dan bagian pinggiran (sitoplasma). Keduanya dipisahkan oleh selaput inti.

              Ditemukan selanjutnya bahwa pada bagian inti ada dua bagian yang secara morfologi dapat dibedakan, yaitu daerah butiran (kromatin) yang berwarna lebih kuat jika di warnai dengan pewarna tertentu, dan bagian inti nukleus (nucleolus) yang warnanya tidak serupa dengan kromatin. Sitoplasma sendiri terdiri dari beberapa organela seperti sentriola dan vakuola.

              Studi-studi embriologi menunjukan bahwa sel-sel penyusun tubuh organisme tingkat tinggi berasal dari suatu seri pembelahan sel yang diawali oleh sel telur yang dibuahi (diktum Rudolf Virchow, tahun 1850-an). Dari studi-studi sitologi sel kelamin jantan dan sel kelamin betina, ditemukan bahwa walaupun ukuran sel telur sangat besar, namun baik sel kelamin jantan dan sel kelamin betina memiliki inti sel dengan ukuran yang sama, dan kedua-duanya memberi sumbangan hereditas yang sama.

              Dikarenakan kesamaan sumbangan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina kepada pewarisan sifat, dan ketidakseimbangan kontribusi daerah sitoplasma, maka diduga inti sel dan bukan sitoplasma sebagai tempat bersemayannya pewarisan sifat seluler.

              Pada saat Mendel meninggal tahun 1884, telah diketahui bahwa kromatin inti sel terdiri dari partikel-partikel yang membentuk benang-benang dengan jumlah tertentu, atau kromosom, dan yang sangat penting adalah bahwa inti sel jantan dan inti sel betina menyumbangkan kromosom dalam jumlah yang sama kepada telur yang dibuahi. Setelah pembelahan sel telur, setiap anggota dari satuan ganda kromosom ini nampak terbelah secara longitudinal dan dipilah ke dalam dua sel turunan (daughter cells) melalui suatu proses yang dinamakan mitosis. Melalui proses ini, setiap sel memperoleh kedua set ganda kromosom dari sel telur yang dibuahi.

              Analisis mikroskopik sel-sel ovarium dan testis binatang dewasa yang aktif membela tersingkap bahwa ada proses lain dari pemilahan kromosom. Pada sel-sel ini, jumlah kromosom per tubuh sel menjadi setengah, sehingga inti sel dari sel telur dan sel sperma mengandung satu set tunggal kromosom yang dimiliki oleh telur dan sperma dari bapak dan ibu. Proses-proses tersebut disebut meiosis.

              Wilhelm Roux (1880-an) berpendapat bahwa sangat sulit membayangkan jika mitosis dan meiosis hadir tanpa maksud yang baik. Proses meiosis dan mitosis ada karena kromosom adalah penyusun bahan hereditas, demikian argumentasinya. Tanpa sadar atas penemuan Mendel, ia mengajukan postulat bahwa unit-unit hereditas diatur secara linier dalam benang-benang kromosom.

              Pemikiran Roux’s langsung di sambar oleh August Weismann dan mengembangkannya ke dalam teori yang lebih sempurna mengenai hereditas dan perkembangan. Ia mengemukakan bahwa pada organisme multiseluler yang berbiak secara seksual, jumlah satuan-satuan hereditas diparuh pada saat pembentukan sel telur betina dan sperma atau tepungsari (sel-sel germ). Jumlah awal satuan-satuan hereditas kemudian dipulihkan saat penggabungan inti sel telur betina dan jantan dalam proses pembuahan yang menghasilkan individu baru. Bahan hereditas individu baru ini setengahnya berasal dari sang ibu dan setengahnya lagi dari sang ayah.

              Sayangnya Weissmann gegabah dengan mengatakan bahwa setiap kromosom dalam inti sel membawa semua informasi untuk memproduksi satu individu tunggal. Hal ini tidak sesuai kenyataan bahwa tanaman kapri memiliki 14 kromosom, dan tidak cocok dengan inferensi Mendel (yang saat itu belum diketahui) bahwa tanaman kapri memiliki dua, dan bukan empat belas, kopy dari setiap satuan hereditasnya. Teori Weissman menjadi sangat dikenal saat itu, dan mendorong studi-studi pemuliaan kuantitatif seperti yang telah dibuat Mendel 35 tahun sebelumnya.

              Salah satu pendukung utama Teori Weissman adalah Hugo de Vries.  Walaupun de Vries menolak beberapa pandangan teori ini, ia melengkapinya dengan mengatakan bahwa setiap satuan-satuan hereditas yang dipostulatkan mengendalikan karakter tunggal, dan unit-unit ini dapat di kombinasikan dengan berbagai cara pada turunannya. Untuk menguji dugaan ini, dia melakukan percobaan seperti yang dilakukan oleh Mendel, dengan kesimpulan yang sama seperti yang diperoleh Mendel. Percobaan dan kesimpulan yang sama pada waktu yang hampir bersamaan (dua bulan dilaporkan lebih awal) juga dilakukan oleh Carl Correns (Januari 1900)                                          Ditemukannya kembali tulisan-tulisan Mendel melahirkan kegemparan yang luar biasa di kalangan ilmuan karena hukum-hukum yang dideduksi dari percobaan-percobaannya kemudian dapat dipahami dalam pengertian perilaku kromosom dalam mitosis dan meiosis, yaitu bahwa setiap kromosom membawa hanya sebagian dari semua satuan hereditas yang penting untuk memproduksi individu sempurna, sehingga keseluruhan unit kromosom yang ada dalam sel germ mencakup hanya satu jiplakan (copy) dari setiap unit. Sel yang membawa unit kromosom tunggal ini disebut dalam keadaan haploid. Sehingga, individu yang berasal dari telur yang dibuahi mengandung sepasang satuan hereditas homologi, yaitu yang berasal dari bapak dan ibu. Sel yang membawa satuan kromosom ganda dikatakan dalam keadaan diploid.

              Di saat terjadi reduksi dalam meiosis dari dua kromosom dalam sel-sel diploid menjadi masing-masing unit tunggal, maka individu memberikan satu jiplakan tunggal dari setiap satuan hereditas ke sel-sel germ haploid yang dengannya ia memperanakan turunannya.

              Terjelaskannya faktor Mendel dalam perilaku mitosis dan meiosis melahirkan dorongan yang luar biasa untuk melakukan studi-studi genetika. Istilah-istilah baru kemudian muncul. Yang muncul pertama kali adalah disiplin itu sendiri diberi nama genetika (genetics), dan unit bawaan dasar Mendel disebut gen (gene). Dua gen homologi mewakili dua bentuk alternatif disebut allelomorf (allelomorphs) yang kemudian disingkat allela (alleles).  Individu yang berkembang dari telur yang dibuahi disebut zigot (zygote), individu homozigot (homozygote) yaitu individu yang membawa sepasang allela identik, dan sebaliknya heterozigot (heterozygote) bagi individu yang membawa sepasang allela yang berbeda dari gen tertentu. Jumlah keseluruhan gen yang ada dalam satu individu, dengan kata lain seluruh kromosom disebut genom (genome).

              Di tahun 1901 de Vries mengajukan proposal bahwa alella-allela berbeda dari gen yang sama muncul melalui perubahan tidak kontinu dan sekonyong-konyong, suatu proses yang dinamainya mutasi (mutation). Dengan ide mutasi, berkembang selanjutnya mutasi gen sebagai sumber keragaman genetis. Konsep-konsep yang diturunkan dari hukum Mendel kemudian diperluas pada berbagai organisme yang lain.

              Impetus baru penelitian genetika diperoleh pada tahun 1910 sewaktu Thomas H. Morgan dan kelompoknya di Universitas Columbia melakukan penelitian genetika pada lalat buah anggur (vinegar fly; Drosophila) untuk menjawab satu dari persoalan genetis dan filosofis saat itu yaitu “apa yang menentukan sel telur yang telah dibuahi menjadi jantan atau betina?

              Melalui studi morfologi kromosom, Morgan dan kawan-kawan membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata dalam perangkat kromosom jantan dan betina.  Pada sel diploid betina terdapat 4 pasang kromosom homologi; pada sel diploid jantan hanya terdapat tiga pasang, dua kromosom sisanya nampaknya tidak sepadan, yang satu berukuran besar dan yang lain berukuran kecil. Kedua kromosom berbeda itu disebut X dan Y.

              Membandingkan dengan pasangan-pasangan yang ada pada betina, disimpulkan bahwa sang betina membawa dua kromosom X dan tidak memiliki kromosom Y.  Dengan demikian, jika individu membawa sepasang kromosom XX maka individunya adalah betina, dan individu dengan kromosom XY adalah jantan.  Baik kromosom X dan Y kemudian dinamai Kromosom Seks. Hal ini kemudian menjadi jelas bahwa seks diturunkan sesuai dengan gen-gen Mendelian yang sederhana dimana X/X homosigot adalah betina, dan X/Y heterosigot adalah jantan.

              Dengan demikian, semua telur haploid dari betina yang di hasilkan oleh meiosis membawa satu kromosom X, sebaliknya sperma haploid yang dihasilkan meiosis dalam testis jantan, setengahnya membawa kromosom X dan setengahnya lagi membawa kromosom Y.  Dengan demikian, pembuahan sel telur oleh sperma pembawa kromosom X akan menghasilkan zigot betina, dan sebaliknya pembuahan sel telur oleh sperma pembawa kromosom Y akan menghasilkan zigot jantan.

              Impetus kedua berasal dari T.H Morgan dan kelompoknya. Mereka menemukan 85 bentuk mutan yang menyimpang dari tipe normal (wild type), seperti  bentuk sayap, warna tubuh, warna mata, bentuk bristel, dan ukuran mata. Mutan-mutan tersebut disebabkan oleh mutasi spontan tunggal yang jarang.

              Tersedianya mutan-mutan tersebut di laboratorium memungkinkan percobaan kawin silang dirancang guna mendalami mekanisme pewarisan sifat.  Hasil persilangan antara lalat bermutan dua gen (yang letaknya di dua kromosom yang berbeda) dengan lalat pembawa allela normal,  meneguhkan temuan Mendel bahwa karakter resesif menghilang pada generasi pertama dan muncul kembali dalam rekombinasi acak di antara turunan kedua setelah kawin sendiri.

              Apabilah kawin silang dilakukan untuk dua karakter yang berada pada kromosom yang sama, maka kedua allela tersebut cenderung muncul di antara rekombinasi turunan kedua dalam kombinasi yang sama. Temuan ini melahirkan pemahaman bahwa gen-gen yang berpaut demikian (linked genes) membentuk satu kesatuan struktur genetis, sehingga mereka harus bergerak bersama-sama dalam segregasi kromosom diploid selama meiosis.

              Namun demikian, walaupun kedua karakter itu terpaut dalam satu kromosom, beberapa rekombinasi juga berlangsung antara gen dalam kromosom yang sama.  Dalam hal ini, pada turunan kedua terdapat lalat yang membawa pada kromosom yang sama satu gen yang allela-nya disuplai oleh induk yang satu dan gen yang lain allelanya disuplai oleh induk yang lain. Morgan menafsirkan hasil ini dalam pengertian terjadinya pindah silang (crossing over) kromosom-kromosom homologi.

              Basis sitogetika pindah silang sebelumnya telah ditunjukkan oleh F.A. Janssens dalam pembelahan sel meiosis. Pada tahapan tertentu dalam meiosis,  setiap pasang kromosom homologi dari sel diploid membentuk penjajaran titik-demi-titik (point-by-point alignment) atau disebut juga sinapsis (synapsis). Dalam sinapsis terjadi pelukaan ditempat-tempat persentuhan antar dua kromosom homologi yang berpasangan, yang dilanjutkan dengan pertukaran potongan dari masing-masing kromosom yang berpasangan. Jadilah dua kromosom rekombinan.

              Dikarenakan probabilitas membuat suatu pelukaan dan penggabungan kembali bersifat tetap untuk setiap satuan panjang kromosom yang bersinapsis maka semakin dekat jarak antara dua gen pada kromosom yang sama semakin kecil kemungkinan kejadian pindah-silang antara keduanya, sehingga semakin kecil rekombinasi antara alela-alelanya. Hal ini memungkinkan dilakukannya pembuatan peta posisi gen mutan pada kromosom lalat buah.

              Dengan melakukan perhitungan frekuensi segregasi gen-gen yang berpaut di antara turunannya (offspring) dari sejumlah besar mutan, Morgan dan kawan-kawan dapat membangun peta genetika gen-gen mutan pada ke empat kromosom Drosophila.

              Penemuan-penemuan T. H Morgan dan para ahli genetika lain memantapkan pemahaman gen sebagi suatu faktor yang berlokasi dalam tempat tertentu dalam kromosom, yang kemudian menjadi dasar-dasar penting dari apa yang disebut dengan genetika klasik. Namun demikian, dalam genetika klasik, gen masih dipahami sebagai suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat dipecah-pecah menjadi serpihan-serpihan material. Pemahaman gen sebagai sesuatu yang bersarang dalam struktur-struktur materi dikenal kemudian setelah penelitian mengenai perilaku kromosom dan penelitian mutasi dikembangkan.

                        Mengomentari pemahaman saat itu tentang teori genetika H. J. Muller, seorang ahli genetika terkenal dan penerima hadial Nobel, dalam pesta mengenang 50 tahun ditemukannya kembali hasil kerja Mendel mengatakan: “Inti riil teori genetika masih nampak berada pada ketidaktahuan yang dalam. Yaitu bahwa kita masih belum memiliki pengetahuan yang aktual dari mekanisme dibalik sifat-sifat unik yang membuat suatu gen adalah gen –yaitu kemampuannya menyebabkan sintesis struktur yang lain seperti dirinya sendiri, dimana bentuk mutasinyapun ikut di-copy.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More